Bogor – Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), Mayor Jenderal TNI Dr. Totok Imam Santoso, S.Sos., S.I.P., M.Tr.(Han), menegaskan kembali pesan Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, yang menyatakan bahwa “Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.” Dalam sambutannya, Mayor Jenderal TNI Dr. Totok Imam Santoso, S.Sos., S.I.P., M.Tr.(Han), menekankan bahwa pesan tersebut bukan sekadar ungkapan simbolik, melainkan prinsip strategis dalam membangun ketahanan nasional dan memperluas jejaring diplomasi kebangsaan di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Acara Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) DKI Jakarta Forum Bela Negara Republik Indonesia (FBN RI) periode 2025–2030, berlangsung di Gedung Graha Zeni Matraman, Jakarta. Selasa (1/7).
Mayor Jenderal TNI Dr. Totok Imam Santoso, S.Sos., S.I.P., M.Tr.(Han), menekankan pentingnya keberadaan Forum Bela Negara sebagai kekuatan sipil strategis dalam menjaga ideologi, jati diri, dan kedaulatan bangsa. Beliau mengajak seluruh jajaran FBN RI untuk tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga pelaku aktif dalam penguatan ketahanan nasional melalui pendekatan sosial, pendidikan, dan budaya. “Semangat bela negara harus terwujud dalam pemikiran dan tindakan nyata. Bukan hanya untuk menghadapi ancaman fisik, tetapi juga menghadapi tantangan siber, krisis identitas nasional, dan tekanan ideologis global,” ujarnya.
Dalam sesi pemaparan materi bertajuk “Urgensi Geopolitik dalam Menjawab Tantangan Global dan Nasional”, Mayor Jenderal TNI Dr. Totok Imam Santoso, S.Sos., S.I.P., M.Tr.(Han), menekankan bahwa pemahaman geopolitik adalah fondasi bagi setiap bangsa yang ingin besar. Beliau menyampaikan bahwa para pemimpin nasional wajib memahami dinamika geopolitik dan geostrategis agar tidak “terdadak” atau tertinggal dalam merespons perubahan global.
Mayjen TNI Dr. Totok Imam Santoso, S.Sos., S.I.P., M.Tr. (Han), juga menyampaikan pandangan strategisnya dalam acara Pelantikan Pengurus DPP dan DPW DKI Jakarta Forum Bela Negara. Dalam forum tersebut, ditekankan bahwa pemahaman mendalam tentang geopolitik merupakan fondasi penting bagi bangsa yang ingin tumbuh menjadi kekuatan besar di tengah dinamika global. Setiap pemimpin di Indonesia perlu memiliki kesadaran dan kesiapan dalam menghadapi perubahan tatanan geopolitik dan geostrategis agar tidak terjebak dalam situasi mendadak yang dapat mengganggu kepentingan nasional.
Ruang lingkup pemaparannya mencakup pemahaman dasar tentang geopolitik, posisi geografis Indonesia beserta tantangannya, situasi geopolitik nasional, perkembangan dan tantangan geopolitik global, strategi responsif baik jangka pendek maupun jangka panjang, serta sejumlah rekomendasi yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan. Geopolitik dipahami sebagai studi mengenai pengaruh letak geografis terhadap kekuasaan politik, yang mencakup pertarungan atas entitas ruang demi kepentingan strategis. Pemahaman ini menjadi landasan penting dalam membentuk arah kebijakan nasional dan internasional.
Indonesia berada pada posisi geografis yang sangat strategis, terletak di antara Benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Pasifik. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi wilayah ini, menjadikannya sebagai jalur penting bagi perdagangan global. Namun, posisi yang menguntungkan ini juga memunculkan berbagai persoalan, seperti potensi ancaman dari negara-negara besar, potensi konflik batas wilayah di daerah rawan seperti Sebatik, Timor Leste, Natuna, dan Ambalat, serta ancaman pencurian kekayaan alam, penyelundupan, infiltrasi, dan risiko bencana alam akibat pertemuan tiga lempeng tektonik.
Situasi geopolitik nasional menunjukkan adanya kekuatan signifikan berupa posisi strategis, kekayaan sumber daya alam, serta landasan filosofis dan ideologis seperti Wawasan Nusantara, Pancasila, dan Ketahanan Nasional. Di sisi lain, tantangan besar masih membayangi, mulai dari kompleksitas sebagai negara kepulauan dengan keberagaman masyarakat, keterbatasan sumber daya manusia, persoalan batas wilayah, hingga berbagai persoalan politik dan ekonomi domestik. Meski demikian, terbuka pula peluang besar bagi Indonesia untuk memainkan peran penting dalam stabilitas kawasan, perdagangan regional, serta manfaat dari bonus demografi. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain konflik internasional yang memengaruhi stabilitas ekonomi, keterbatasan kekuatan pertahanan, serta kurangnya sinergi antara kementerian dan lembaga.
Perkembangan geopolitik global turut menjadi perhatian, terutama dengan munculnya berbagai konflik besar yang berdampak luas, seperti ketegangan antara Iran dan Israel, krisis kemanusiaan di Gaza, rivalitas kekuatan besar di Laut China Selatan dan kawasan Indo-Pasifik, hingga perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, dinamika di Afrika memperlihatkan kebangkitan baru dalam melawan bentuk-bentuk penjajahan modern yang masih tersisa. Dunia kini terbagi dalam tiga poros utama kekuatan yang terus membentuk lanskap strategis global, dan Indonesia harus mampu membaca serta merespons setiap pergeseran dengan cermat.
Menghadapi realitas tersebut, diperlukan strategi komprehensif dan sinergis. Pemerintah diharapkan menyusun peta jalan kebijakan geopolitik nasional dengan memperhatikan dimensi jangka pendek dan panjang. Strategi jangka pendek meliputi penguatan sumber daya manusia unggul, pemanfaatan teknologi mutakhir, peningkatan sosialisasi geopolitik, penguatan sinergi antarlembaga, serta optimalisasi diplomasi pertahanan dan sistem komando terpadu. Sementara untuk jangka panjang, fokus diarahkan pada penguatan diplomasi yang mengedepankan kepentingan nasional, peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan peran diplomasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, pemanfaatan keunggulan komparatif seperti energi dan hasil laut, serta penguatan ketahanan pangan, hilirisasi SDA, dan integrasi teknologi strategis.
Sebagai bentuk implementasi konkret, sejumlah rekomendasi diajukan, antara lain penyelenggaraan dialog dan seminar rutin tentang geopolitik, revitalisasi prinsip politik luar negeri bebas aktif, penguatan sistem alutsista dan teknologi pertahanan, pengembangan kecerdasan buatan untuk kepentingan strategis, serta perluasan kemitraan internasional.
Di akhir pemaparan, disampaikan pesan kebangsaan dengan mengutip tiga pesan moral dari Presiden ke-2 RI, Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto, yaitu “ojo lali” (jangan lupa), “ojo dumeh” (jangan sombong), dan “ojo ngoyo” (jangan memaksakan diri). Ketiga pesan tersebut menjadi pengingat abadi bahwa menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI bukan hanya menjadi tugas negara, tetapi panggilan moral bagi setiap warga bangsa untuk terus berpikir, bekerja, dan berjuang demi kemakmuran rakyat Indonesia.
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dirjen Pothan Kemenhan RI Laksamana Muda TNI Dr. Sri Yanto, S.T., M.Si. (Han)., Ketua Umum FBN Prof. Dr. R. Zainal Abidin S. M.M ., Ketua FBN Perwakilan Provinsi DK Jakarta Herri Gunawan Sattar.,Direktur Bela Negara Ditjen Pothan Kemhan RI, Brigjen TNI G. Eko Sunarto, S.Pd., Perwakilan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Santo Wirawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi (APTIKNAS) Ir. Soegiharto Santoso SH, Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Direktur Lembaga CMC Ardian Elkana, dan GM LSP Pers Indonesia Meytha Kalalo, serta tokoh masyarakat.
(Humas Unhan RI).